Minggu, 21 Desember 2008

MeNjaDi DiRi SeNdiRi

Hmm… sebenarnya bagaimana sih menjadi diri sendiri itu? Bukankah kita sebenarnya adalah aktor dari sebuah peran yang kita tentukan sendiri di panggung sandiwara ini? Citra, atau image apa yang kita ingin tunjukkan kepada setiap orang yang berinteraksi dengan kita? Apakah citra seorang pemuda berandalan yang suka dugem di tempat hang out? Ataukah sebagai orang yang taat agama dan rajin mengaji? Ataukah playboy kelas kakap yang tak bisa lagi merasakan bagaimana jatuh cinta dan patah hati? Banyak template yang bisa kita pakai dalam membangun citra. Citra juga bisa dibangun dari sebuah kebiasaan. Ambil contoh, misalnya sejak kecil kita adalah juara kelas. Secara bertahun-tahun kita tak sadar bahwa citra pelajar pandai telah melekat erat pada diri kita. Aura yang berbeda terpancar tatkala sang pelajar pandai itu berinteraksi dengan teman-temannya yang “biasa-biasa” saja secara akademis. Aura yang membuat sungkan, ewuh pakewuh. Dengan mudah pula kita bisa membangun citra sebagai orang yang taat beragama. Citra bisa dibentuk dengan bersering-sering berkumpul dalam pengajian, majelis taklim, dan suka mengaji. Bila perlu, perbanyak kosa kata berfont arabic dalam rangkaian kalimat yang keluar dari mulut kita. “Beruntungnya”, citra ini seringkali dinilai sebagai citra yang baik dan benar. Orang sering tidak memperdulikan apa yang ada di balik sampul yang bernama citra ini. Apakah kita telah berkepribadian jempolan sesuai yang dicitrakan oleh sampul ini. Jadi, kapan kita menjadi diri sendiri? Siapa diri sendiri itu sebenarnya? Bukankah kita selalu memakai topeng citra yang membuat kita tampak kemilau disinari lampu-lampu citra? Bukankah diri sendiri itu hanyalah sebuah tumpukan identitas yang dipakaikan ke diri kita? Jika benar, mungkin ungkapan di atas boleh digeser sedikit menjadi, Jadilah aktor sesuai dengan peran yang kamu inginkan. Aktor yang selalu konsisten dengan perannya, atau konsisten mengubah peran yang ingin dia lakoni tanpa dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Kalau begitu, apa yang harus kita nilai dari sebuah peran seseorang?
Cara-cara "Modern" untuk "Katakan Cinta"

Pada prinsipnya cara-cara "modern", yang dilakukan oleh remaja jaman sekarang, itu sama saja dengan cara-cara jadul. Misalnya, kalau dulu untuk menyatakan cinta lewat surat itu perlu tinta dan kertas, ditambah skill menulis indah, maka jaman sekarang bisa diganti dengan surat elektronik (email), atau dengan sms (short message service). Kalau dulu perlu beberapa waktu yang relatif lama, sekarang cukup klik send maka sampai deh ke alamat email sang calon kekasih. Cara tembak langsung di jaman sekarang ini sangat populer di kalangan remaja, sampai ada acaranya segala di TV, seperti acara "katakan cinta". Cara tembak langsung katanya lebih gentle, lebih elegan ketimbang cara-cara lain. Juga katanya lebih disuka para wanita. Karena katanya wanita itu maunya yang langsung dihadapannya, tak percaya bila belum diungkapkan di hadapannya. Untuk cara tembak langsung ini, bila jaman dulu, biasanya laki-laki yang dominan mengambil inisiatif. Jaman sekarang, wanita pun seperti tak sabar dan terpaksa mengambil alih inisiatif tersebut. Wanita menembak pria, pria menerima tembakan itu, atau hanya senyum-senyum saja yang biasanya menandakan cinta sang wanita ditolak. Sedangakan cara-cara tak langsung, nyaris musnah ditelan jaman. Walaupun ada, itupun hanya sedikit jumlahnya. Ya sudah, segitu saja dulu. Yang pasti bila kita menyatakan cinta, resikonya itu cuma dua hal. Berbahagia bila diterima, dan menderita seumur-umurlah bila ditolak. Seperti apa rasanya bila cinta ditolak? Seperti apa rasanya bila cinta diterima? Nantikan tulisan saya berikutnya.
Selamat membaca dan mudah-mudahan bermanfaat! Amin.
PrOuSt_666 © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute